PERJUANGAN R.A Kartini bagi perempuan di Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Kisah perjuangan dan pemikirannya yang dituangkan dalam surat-suratnya itu pun telah dibukukan. Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah karyanya yang fenomenal dan juga merupakan tonggak sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Melalui surat-surat yang Kartini kirimkan tersebut, dunia tahu bahwa di tengah penjajahan ternyata ada seorang gadis yang sadar akan hak perempuan akan pendidikan. Dalam salah satu suratnya yang dikirimkan ke Nyonya Abendanon pada 21 Januari 1901, Kartini mengungkapkan kegembiraannya atas idenya menyediakan pendidikan dan pengajaran bagi para gadis di Bumiputra. Pendidikan menurutnya adalah cara untuk mengubah kehidupan perempuan. Perubahan yang akan mendatangkan rahmat bukan hanya bagi para gadis tapi seluruh perempuan Bumiputra.
Dari satu suratnya itu, dapat terlihat bahwa Kartini sangat fokus pada pendidikan bagi perempuan. Bahkan pemikirannya pun sudah melesat jauh dibandingkan perempuan seusianya. Ia sudah memikirkan bahwa ketidakadilan yang diterima perempuan itu terjadi karena kurangnya pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan.
Namun, dari seluruh kisah hidup Kartini yang luar biasa tersebut hingga menjadikannya sebagai tokoh feminis Indonesia, sepertinya tidak cukup banyak informasi dan literatur yang membahas tentang sisi religiusitas seorang Kartini.
Dalam surat-suratnya dapat ditemukan istilah dan kata-kata yang mengandung nasionalisme seperti kesadaran nasional, demokrasi, negara, dan bangsa. Tetapi dari surat yang ditulis untuk Nyonya Abendanon di atas, ditemukan juga kata rahmat yang lebih dekat dengan istilah keagamaan.
Kartini dan KH. Sholeh Darat
Sosok Kartini selama ini diceritakan sebagai perempuan yang cerdas dengan pemikirannya yang maju. Namun ternyata Kartini juga adalah sosok yang religius, ia adalah salah satu murid dari KH. Sholeh Darat, seorang ulama besar dan merupakan penulis tafsir Faidh Al Rahman.
Tafsir Al-Quran dari KH. Sholeh Darat ini merupakan tafsir pertama se Asia Tenggara yang ditulis dalam bahasa Jawa. Kartini yang saat itu baru berusia 13 tahun adalah sosok di balik penulisan tafsir ini.
Jauh sebelum buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini justru lebih dahulu berkontribusi dalam penulisan Tafsir Al-Qur’an. Kisah tentang Kartini yang meminta agar gurunya itu menafsirkan Al-Quran dengan bahasa Jawa sehingga mudah dipahami olehnya ini memang sangat sedikit dibicarakan.
Kartini pelopor emansipasi perempuan Indonesia ini ternyata juga mengaji. Tidak hanya menjadi murid yang mendengarkan gurunya, tetapi juga murid yang berani memberikan usul atas apa yang ia rasa dapat menunjang pendidikan rohaninya.
Berkat usul dari Kartini, KH. Sholeh Darat akhirnya menuliskan tafsir Al-Quran dengan Bahasa Jawa yang berhasil dicetak pertama kali di Singapura. Pada cetakan pertama ini, baru 13 Juz Al Quran yang sudah selesai dituliskan. Setelah itu, kitab tafsir tersebut dihadiahkan kepada Kartini. Hingga saat ini kitab tafsir Faidh Al Rahman masih terus dikaji dalam kajian rutin di lingkungan Masjid KH. Sholeh Darat di Semarang.
Demikianlah, Kartini yang selama ini lebih sering disebut sebagai tokoh emansipasi perempuan yang fokus pada pendidikan perempuan ternyata seorang santri yang mengaji Al Quran. Tidak hanya mengaji saja, ia bahkan menjadi pencetus ide untuk menafsirkan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa yang notabene lebih dikenal dan lebih dekat dengan kaum perempuan di masanya. Penafsiran Al-Quran yang berbahasa Arab dan ‘Asing’ bagi perempuan Bumiputra ke dalam Bahasa Jawa ini ditujukan agar ia dan teman-temannya bisa lebih dekat dengan kitab Allah.
Tentu yang dilakukan Kartini tersebut adalah salah satu cara yang ia lakukan untuk mewujudkan cita-citanya dengan menjadikan pendidikan sebagai rahmat bagi seluruh perempuan.
Oleh:
Safitri Yulikhah / Guru MTs Andalusia Banjarnegara