Blended Learning, Antara Idealisme Dan Realita

PANDEMI Covid-19 di seluruh dunia memberikan efek global, hampir semua lapisan masyarakat merasakan dampak pandemi ini. Terlebih pada dunia pendidikan, Covid-19 ‘memaksa” kita semua untuk melaksanakan sistem pendidikan online atau pendidikan jarak jauh (PJJ) dari semua jenjang pendidikan.

Memasuki era new normal di dunia pendidikan, berdasarkan peraturan empat menteri yaitu, Kemendikbud, Kemenag, Kemenkes dan Kemendagri melakukan penyesuaian kebijakan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19 dengan memberikan penguatan peran dan pemberian kewenangan penuh pada Pemda / Kanwil Kantor Kemenag dalam penentuan pemberian izin pembelajaran tatap muka, penyelenggaraan pembelajaran tatap muka dapat dilakukan secara serentak atau bertahap per wilayah kecamatan dan/atau desa/kelurahan.

Regulasi Pemerintah tentang pelaksanaan pembelajaran jarak jauh tidak sepenuhnya diberlakukan di beberapa daerah. Daerah yang termasuk zona hijau diperbolehkan untuk melaksanakan tatap muka meskipun waktunya terbatas serta tetap mengedepankan protokol kesehatan. Hal ini yang menuntut Kepala Madrasah dan para guru di wilayah zona hijau untuk menunjukkan inovasi pembelajaran. Salah satu inovasi yang dilakukan Madrasah adalah dengan menerapkan pembelajaran berbasis Blended Learning (Ahmad Noval, 2020).

Blended Learning mengacu pada belajar yang mengombinasi atau mencampur antara pembelajaran tatap muka (face to face) dan pembelajaran berbasis internet (online) (Idris, 2018; Wardani et al., 2018). Blended Learning merupakan jenis pembelajaran yang menggabungkan pengajaran klasikal (face to face) dengan pengajaran online. Blended Learning menggabungkan aspek pembelajaran berbasis web/internet, streaming video, komunikasi audio synchronous dan asynchromous dengan pembelajaran tradisional ‘tatap muka’ (Sjukur, 2013).

Belajar dalam kelas dan e-learning masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, hal itulah yang mendasari terbentuknya metode Blended Learning ini. Seperti contoh, kekurangan belajar dalam kelas cenderung terbatas dengan tempat dan waktu yakni hanya bersumber dari sekolah saja. Tetapi kelebihannya tatap muka di kelas dengan bertemu guru, para pelajar dapat langsung mendapat feedback dari guru tersebut atas pencapaian yang sudah mereka lakukan.

Begitupun sebaliknya, belajar menggunakan internet memang tidak terbatas tempat dan waktu, tetapi tidak adanya guru yang mendampingi, peserta tidak langsung mendapat feedback dan cenderung mengalami salah pengertian. Maka dengan dipadukannya kedua metode tersebut, blended learning dapat menjadi jawaban untuk metode belajar yang menjadi tren di masa pandemi ini.

Menurut Jared M. Carmen (President Aglint Learning) menyebutkan ada lima kunci dalam mengembangkan blended learning:

Pertama, Live Event. Pembelajaran langsung atau tatap muka dalam waktu dan tempat yang sama (classroom) ataupun waktu sama tapi tempat berbeda (seperti virtualclassroom).

Kedua, Self-Placed Learning. Mengkombinasikan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran mandiri yang memungkinkan speserta didik belajar kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang khusus untuk belajar mandiri baik yang bersifat text-based maupun multimedia-based (video, animasi, simulasi, gambar, audio, atau kombinasi dari semuanya). Bahan belajar dalam konteks saat ini dapat dikirim secara online (via web maupun via mobile device dalam bentuk: streaming audio, streaming video, e-book, dll) maupun offline (dalam bentuk CD, cetak, dll).

Ketiga, Collaboration. Perancang blended learning harus meramu bentuk-bentuk kolaborasi, baik kolaborasi antar peserta belajar atau kolaborasi antara peserta belajar dan pengajar melalui tool-tool komunikasi yang memungkinkan seperti chatroom, forum diskusi, email, website/webblog, mobile phone. Tentu saja kolaborasi diarahkan untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan melalui proses sosial atau interaksi sosial dengan orang lain, bisa untuk pendalaman materi, problem solving, project-based learning, dan lain sebagainya.

Keempat, Assessment. Keberhasilan proses pembelajaran diukur dari keberhasilan penilaian belajar (teknik assessment). Dalam blended learning, perancang harus mampu meramu kombinasi jenis tes, baik yang bersifat tes maupun non-tes atau tes yang lebih bersifat otentik (authentic assessment/portfolio). Disamping itu, juga perlu mempertimbangkan antara bentuk-bentuk tes online dan tes offline.

Kelima, Performance Support Materials. Ketika akan mengkombinasikan antara pembelajaran tatap muka dalam kelas dan tatap muka virtual, pastikan sumber daya untuk mendukung hal tersebut siap. Jika bahan belajar disiapkan dalam bentuk digital, pastikan apakah bahan belajar tersebut dapat diakses oleh peserta belajar baik secara offline maupun secara online.

Arahan pelaksanaan pembelajaran campuran atau blended learning tidak hanya mempersiapkan pembelajaran berbasis teknologi saja, karena unsur terpenting dalam pembalajaran adalah pedagogi, yaitu bagaimana mengembangkan karakter siswa berbudi pekerti unggul, memfasilitasi siswa agar lebih aktif, lebih paham tujuan belajar, menjadi lebih mandiri dan lebih reflektif. Menurut Bukik Setiawan blended learning tidak boleh menghilangkan peran guru dalam pembelajaran, tapi diharapkan menjadikan guru lebih berempati, lebih kreatif, lebih berdaya, dan lebih melibatkan diri dalam proses merdeka belajar.

Dari pandemi Covid-19 ini kita belajar bahwa pendidikan bukan hanya menyerahkan proses pembelajaran pada pihak sekolah atau madrasah, untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu maka perlu sinergi dn kolaborasi kompak antara murid, guru, orang tua dan pimpinan sekolah/madrasah.

Secara realita blended learning di madrasah akan terkendala dengan berbagai permasalahan dari kesiapan fisik madrasah, kompetensi guru, serta kesiapan interaksi siswa dan orang tua. Memang blended learning menawarkan sistem pembelajaran yang lebih fleksibel dan tidak monoton, tetapi realita yang terjadi pada penerapannya ada persoalan disparitas teknologi antar rumah tangga, disparitas jaringan internet antar daerah yang tiak merata, serta literasi teknologi guru dan orang tua yang bervariasi juga menjadi permasalahan yang sering ditemukan.

Blended learning merupakan salah satu metode pembelajaran di masa pandemi, tapi dengan metode apupun yang paling penting dalam pendidikan di madrasah adalah pembinaan dan pengembangan iman, taqwa, akhlak mulia, hati nurani, budi pekerti dan pengembangan aspek humaniora, moderasi beragama, aspek kecerdasan dan ketrampilan sehingga terwujud keseimbangan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

 

Oleh

Musfiatul Muniroh, S.Pd.I, M.Pd / Guru Bahasa Arab MTs N 1 Banjarengara

Bagikan :
Translate »