Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019 adalah unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan secara operasional dibina oleh kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota.
Sebagai unit pelaksana teknis di lapangan, sejatinya KUA merupakan wajah Kementerian Agama Republik Indonesia, karena hampir seluruh pekerjaan Kementerian Agama dilayani di KUA. Menurut Gus Menteri, setidaknya dua layanan yang akan menentukan wajah Kementerian Agama yakni layanan Haji dan KUA. Artinya bagaimana pandangan masyarakat tentang layanan Haji dan KUA begitulah kiranya wajah Kementerian Agama. Melihat sedemikian strategisnya peran dan fungsi KUA, maka tidak berlebihan kiranya jika Gus Menteri mencanangkan program percepatan transformasi layanan publik.
Dalam tataran layanan di KUA, revitalisasi layanan dijelaskan ke dalam tiga hal yaitu Kantor Urusan Agama(KUA) menjadi pusat layanan keagamaan di tingkat Kecamatan, tata kelola organisasi dan transformasi digital.
Pertama KUA sebagai pusat layanan keagamaan karena posisi KUA yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. KUA memiliki penghulu dan penyuluh baik PNS maupun non PNS yang pekerjaannya melayani masyarakat. Sesungguhnya early warning radikalisasi yang berkembang di masyarakat dapat diidentifikasi sejak dini, karena para penghulu dan penyuluh agama sehari-harinya membina masyarakat melalui majelis taklim dan kelompok pengajian, karenanya penyuluh dan penghulu dapat berperan sebagai agen moderasi beragama.
Kedua, pada bidang tata kelola organisasi. KUA harus segera merubah pola layanan masyarakat. Sampai saat ini image masyarakat tentang layanan KUA masih didominasi dengan predikat yang kurang menyenangkan, seperti layanan yang berbelit, penghulu yang sering terlambat datang di majelis ijab-qabul, dan performance penghulu sebagai petugas pencatat nikah yang memuaskan, dan kantor KUA sebagai balai nikah yang kurang representatif.
Tentunya, kondisi harus segera dirubah dengan menyederhanakan layanan, mengakselerasi waktu layanan dan memudahkan layanan. Pelayanan masyarakat idealnya disesuaikan juga dengan sumber daya manusia yang ada, sehingga diharapkan ada penambahan petugas KUA. Peningkatan kapabilitas petugas layanan, baik kompetensi pengetahuan dan standarisasi balai nikah.
Ketiga, transformasi digital. Salah satu hal yang paling krusial pada layanan KUA adalah layanan yang masih bersifat manual, sebagai contoh yang paling mencolok adalah pendaftaran kehendak nikah. Masyarakat harus beberapa kali datang ke KUA hanya sekedar untuk mendaftarkan kehendak nikah. Sementara kantor layanan sejenis layanan ini sudah bisa dilakukan secara digital. Kantor catatan sipil, kantor imigrasi, kantor pajak atau perbankkan sudah menerapkan layanan secara digital untuk melayani kepentingan masyarakat.
Idealnya KUA menerapkan hal serupa dalam layanannya. Sebagai gambaran untuk mendaftar kehendak nikah, masyarakat cukup mengunggah dokumen yang diperlukan pada aplikasi KUA, kemudian petugas memverifikasi dokumen tersebut. Apabila dokumen tidak lengkap, petugas akan memberitahukan kekurangannya, jika lengkap dan tidak ditemukan keraguan validitas dokumen tersebut, maka petugas akan mengirimkan notifikasi penerimaan pendaftaran, tanggal pernikahan, nama petugas dan nomor yang bisa dihubungi apabila membutuhkan keterangan lebih lanjut.
Digitalisasi data juga diperlukan untuk mendokumentasikan data pernikahan, bukan hanya data pernikahan saat ini saja, tetapi juga digitalisasi data pernikahan tahun yang sudah lampau, karena data pernikahan tokoh nasional dan tokoh penting di negeri ini semuanya tersimpan di KUA.
Transformasi layanan adalah keniscayaan, maka bergerak sedini mungkin untuk mengawali perubahan layanan KUA akan membawa perubahan yang cukup signifikan dalam rangka meningkatkan citra Kementerian Agama. Semoga.
Oleh:
Agus Suryo Suripto / Kepala Kankemenag Banjarnegara